WRITTEN BY EDUPEDIA
HENDRA
DWI PRASETYO // CITRA O. S. PRASETYO
Tanggal
9 Maret 2016, Indonesia akan dihebohkan dengan kemunculan fenomena alami
GERHANA MATAHARI TOTAL. Bagaimana ummat islam menyikapi hal ini??? Sebagai ummat
muslim, Nabi Muhammad SAW telah menganjurkan pada umatnya untuk melaksanakan
sholat sunnat Gerhana Matahari. Karena Nabi Muhammad melihat sisi kebesaran
Allah SWT, sehingga Nabi Muhammad SAW memerintahkan untuk mengerjakan sholat
gerhana. Namun yang terjadi saat ini sangat memilukan, Karena bukan ibadah yang
dikejar namun pengabadian moment saat terjadinya gerhana matahari.
Mari
kita lihat dalil tentang apa yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi
wa sallam saat terjadi gerhana matahari:
عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ
حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ
وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ
هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ
مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ
Abu
Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari
pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut
karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid
kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama.
Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda,”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.”
Inilah
dalil tentang perintah sholat gerhana matahari:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika
kalian melihat gerhana tersebut (matahari atau bulan) , maka bersegeralah untuk
melaksanakan shalat.”
Catatan: Jika di suatu
daerah tidak nampak gerhana, maka tidak ada keharusan melaksanakan shalat
gerhana. Karena shalat gerhana ini diharuskan bagi siapa saja yang melihatnya
sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas.
Shalat
gerhana dalam bahasa arab sering disebut dengan istilah khusuf (الخسوف) dan juga kusuf (الكسوف) sekaligus. Shalat gerhana matahari dan gerhana
bulan sama-sama disebut dengan kusuf dan juga khusuf sekaligus. Namun di
kalangan ulama penggunaan istilah khusuf untuk gerhana bulan dan kusuf untuk
gerhana matahari.
1.
Kusuf
Kusuf
(كسوف)adalah peristiwa dimana
sinar matahari menghilang baik sebagian atau total pada siang hari karena
terhalang oleh bulan yang melintas antara bumi dan matahari.
2.
Khusuf
Khusuf
(خسوف) adalah peristiwa
dimana cahaya bulan menghilang baik sebagian atau total pada malam hari karena
terhalang oleh bayangan bumi karena posisi bulan yang berada di balik bumi dan
matahari.
Waktu
pelaksanaan shalat gerhana adalah mulai ketika gerhana muncul sampai gerhana
tersebut hilang. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, Rasulullah shallallahu ’alaihi
wasallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِىَ
”Matahari
dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Kedua gerhana
tersebut tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian
melihat keduanya, berdo’alah pada Allah, lalu shalatlah hingga gerhana tersebut
hilang (berakhir).”
Shalat
gerhana juga boleh dilakukan pada waktu terlarang untuk shalat. Jadi, jika
gerhana muncul setelah Ashar, padahal waktu tersebut adalah waktu terlarang
untuk shalat, maka shalat gerhana tetap boleh dilaksanakan. Dalilnya adalah:
فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَافْزَعُوا إِلَى الصَّلاَةِ
”Jika
kalian melihat kedua gerhana matahari dan bulan, bersegeralah menunaikan shalat.”
Dalam hadits ini tidak dibatasi waktunya. Kapan saja melihat gerhana termasuk
waktu terlarang untuk shalat, maka shalat gerhana tersebut tetap dilaksanakan.
Hal-hal
yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana:
1. Perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir,
sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ
، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
”Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah,
kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
2. Keluar mengerjakan shalat gerhana secara
berjama’ah di masjid.
Salah
satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah
bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari
lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar
istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
mendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. Ibnu
Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu
shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah
melihat berakhirnya gerhana.”
Lalu
apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan
penjelasan menarik berikut.
Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah
bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan
shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabi shallallahu
’alaihi wa sallam,
فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا
”Jika
kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah”.
Dalam
hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika
kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini
menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun
seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, ingatlah, dengan
banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga
adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.”
3. Wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum
pria
Dari
Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,
أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ –
صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا
النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا
لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ
. فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ
“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha
-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari.
Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk
melakukan sholat, saya bertanya: “Kenapa orang-orang ini?” Aisyah
mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, “Subhanallah (Maha Suci
Allah)”. Saya bertanya: “Tanda (gerhana)?” Aisyah lalu memberikan isyarat untuk
mengatakan iya.”
Bukhari
membawakan hadits ini pada bab:
صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ
”Shalat wanita bersama kaum pria ketika
terjadi gerhana matahari.”
Ibnu Hajar mengatakan,
أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ
مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى
”Judul
bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak
boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat
sendiri.”
4. Menyeru jama’ah dengan panggilan ’ash sholatu
jaami’ah’ dan tidak ada adzan maupun iqomah.
Dari
’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,
أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله
عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا.
وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ
.
“Aisyah
radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk
memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat
berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau
melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” Dalam
hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi,
adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.
5. Berkhutbah setelah shalat gerhana
Disunnahkah
setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy
Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat. Hal ini berdasarkan hadits:
عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ
عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى
الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ،
ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ
الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم
فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ
وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ
آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك
فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ
الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد،
وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.
Dari
Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian
beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut
namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang
banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya
matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah.
Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang.
Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah,
kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”
Nabi
selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang
pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki
maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian
mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak
menangis.”
Khutbah
yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah.
Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i.
TATA CARA SHALAT GERHANA MATAHARI
Shalat
gerhana dilakukan sebanyak 2 raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para
ulama. Namun, para ulama berselisih mengenai tata caranya.
“Aisyah
radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk
menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah).
Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan
empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at. (HR. Muslim no. 901)
“Aisyah
menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau
ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan
memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang
sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut
namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan
memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya
seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi),
sedangkan matahari telah nampak.”
(HR. Bukhari, no. 1044)
Secara
ringkas, lengkap, dan jelas tata cara shalat gerhana sebenarnya sama seperti
shalat biasa dan bacaannya pun sama, urutannya sebagai berikut.
1. Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan
karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi
kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam
juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para
sahabatnya.
Niat
shalat:
أُصَلِّيْ سُنَّةَ لِكُسُوْفِ الشَّمسِ رَكْعَتَيْنِ
لِلَّهِ تَعَالَى
” Ushallii Sunnatal Kusuufis-Syamsi Rak’ataini Lillahi Ta’alaa
“
Terjemahan : ” Aku niat
(melaksanakan) shalat sunnah Gerhana Matahari dua rakaat karena Allah
ta’ala “
2. Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana
shalat biasa.
3. Membaca do’a istiftah dan berta’awudz,
kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat
Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana
terdapat dalam hadits Aisyah:
جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ
الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam
menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan
Muslim no. 901)
4. Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.
5. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil
mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’
6. Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud,
namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang.
Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.
7. Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang
panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.
8. Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).
9. Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana
ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.
10. Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan
raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan
gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.
11. Tasyahud.
12. Salam.
13. Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada
para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar,
sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356,
Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1: 438)
DOA-DOA
SAAT GERHANA MATAHARI
1. DOA MINTA AMPUN (sumber:
2.
DOA SAAT KHUTBAH SHALAT GERHANA MATAHARI
Demikianlah
pengertian serta tata cara shalat gerhana matahari, sedikit atau banyaknya imu
yang diperoleh semoga bermanfaat bagi anda. AMIIINNN…….TERIMAKASIH……
--FIN--
No comments:
Post a Comment