Written by. EDUPEDIA
Hendra
Dwi Prasetyo // Citra O. S. Prasetyo
Bagi anda yang ingin atau sedang melakukan
penelitian tentang enzim cacing tanah khususnya mengenai enzim cacing tanah jenis
Perionyx
excavatus, EDUPEDIA siap untuk
membagikan sedikit ilmu untuk dijadikan referensi mengenai metode dalam pengujian
enzim cacing tanah jenis Perionyx excavatus.
P. excavatus merupakan cacing tanah
yang banyak ditemukan di daerah tropis Asia [Gates, 1972]. Cacing ini juga
ditemukan di daerah Australia, Amerika Selatan, dan Hawaii. Secara
morfologi P. excavatus memiliki
panjang tubuh 10–18 cm dan tebal 5–6 mm [Bhattacharjee dan Chauduri, 2002].
Bagian anterior tubuhnya berwarna ungu dan bagian posterior berwarna ungu
kemerahan atau kecoklatan. Di bawah cahaya yang cukup terang, kulit P. excavatus memendarkan cahaya
keunguan. Cacing tanah ini sangat aktif bergerak dalam kondisi seperti apa
saja. Klitelium P. excavatus dewasa
terdapat pada segmen keduabelas dari bagian mulut dan memanjang hingga segmen
ketujuhbelas.
Pada umumnya, P. excavatus hidup
dan bereproduksi pada temperatur 25-30ºC. Media
yang paling baik untuk pertumbuhannya adalah kotoran sapi dan kotoran babi. Berikut
ini merupakan metode dalam menguji enzim cacing tanah jenis Perionyx
excavatus:
1.
Isolasi enzim;
2.
Pemurnian enzim: a. Fraksinasi Amonium Sulfat, b. Kromatografi Filtrasi
Gel.
3.
Identifikasi enzim: a. Penentuan Aktivitas Total
a-amilase, b. Penentuan Kadar Protein
METODE PENGUJIAN ENZIM CACING P. excavatus
1.Isolasi Enzim
Sebanyak 30 gram cacing hidup yang sudah bersih direndam dalam 30 ml bufer
asetat 25 mM, pH 5 yang mengandung EDTA 0,5 mM selama 18 jam pada 4ºC. Setelah
18 jam, cacing dipisahkan dari larutannya. Larutan yang diperoleh
disentrifuga pada 16.000×g pada 4ºC
selama 30 menit. Supernatan dipisahkan dan disentrifuga ulang dengan waktu
dan kecepatan yang sama. Hasilnya disimpan sebagai ekstrak kasar α-amilase.
2. Pemurnian Enzim
Pemurnian enzim dilakukan melalui 2 tahap, yaitu tahap pertama adalah
dengan metode fraksinasi amonium sulfat 20, 40, 60, 80, dan 100% jenuh; dan
tahap kedua dengan kromatografi filtrasi gel menggunakan matriks Sephacryl 300 HR.
2.1 Fraksinasi Amonium Sulfat
Sejumlah tertentu garam amonium sulfat yang telah dihaluskan ditambahkan
perlahan-lahan ke dalam larutan ekstrak kasar a-amilase pada
suhu 4°C sambil diaduk
menggunakan pengaduk magnet hingga larut. Larutan dibiarkan selama 1 jam sambil
tetap diaduk. Setelah 1 jam, larutan disentrifuga dengan kecepatan 17.400×g pada 4°C selama 45
menit. Supernatan dipisahkan dari endapan. Endapan dilarutkan dalam bufer
asetat 25 mM pH 5 dan disimpan sebagai fraksi amonium sulfat 20% jenuh. Proses
yang sama dilakukan terhadap supernatan untuk memperoleh fraksi amonium sulfat
40, 60, 80, dan 100% jenuh. Aktivitas spesifik masing-masing fraksi diuji untuk
menentukan fraksi yang mengandung a-amilase
paling banyak.
2.2 Kromatografi Filtrasi Gel
Bufer asetat dan H2O bidestilasi (ddH2O) yang
digunakan dalam kromatografi filtrasi gel disaring terlebih dahulu menggunakan
penyaring vakum dengan membran selulosa nitrat berukuran pori 0,45 mm. Sambil disaring, larutan dipanaskan dan disonikasi
untuk menghilangkan gas gas yang terlarut di dalamnya. Sampel disaring
menggunakan penyuntik Milipore
berukuran pori 0,2 mm.
Matriks Sephacryl 300 HR dicuci menggunakan ddH2O sebanyak dua
kali volume kolom dengan laju alir 1 mL/menit. Pencucian kolom dilanjutkan
menggunakan bufer asetat 25 mM pH 5 sebanyak tiga kali volume kolom. Sejumlah 2
mL sampel diinjeksikan ke dalam kolom. Sampel dielusi dengan bufer asetat 25 mM
pH 5 sebanyak 1,5 kali volume kolom dengan laju alir satu mL/menit. Fraksi-fraksi
aktif dikumpulkan untuk diidentifikasi.
3. Identifikasi Enzim
Identifikasi enzim dilakukan melalui penentuan aktivitas total a-amilase, penentuan kadar protein, native-PAGE dan zimografi, dan pengujian aktivitas terhadap pati
mentah menggunakan SEM (Scanning Electron
Microscope, mikroskop elektron pemindai).
3.1 Penentuan Aktivitas Total a-amilase
Penentuan aktivitas total secara kuantitatif didasarkan pada metode Fuwa (1954).
Enzim sebanyak 50 mL dicampur dengan 50 mL larutan pati cair 0,5% (b/v). Campuran reaksi dibiarkan
pada suhu ruang selama 30 menit. Reaksi dihentikan dengan penambahan 50 mL asam asetat 1 M. Kemudian, campuran reaksi ditambahkan
dengan 200 mL larutan I2/KI
lalu diencerkan hingga 5 mL. Absorban larutan diukur pada panjang gelombang 580
nm. Untuk uji kualitatif, pembacaan absorban tidak perlu dilakukan. Larutan
standar pati yang digunakan adalah larutan pati cair dengan jangkauan
konsentrasi 10-3–6,5´10-3 % (b/v). Unit aktivitas enzim dinyatakan sebagai
jumlah miligram pati yang terhidrolisis oleh enzim selama 1 menit pada suhu
ruang. Aktivitas total dinyatakan sebagai unit aktivitas per mililiter enzim
(U/mL).
3.2 Penentuan Kadar Protein
Kadar protein ditentukan dengan metode Bradford (1976) menggunakan pewarna coommasie briliant blue G-250. Sebanyak
800 mL larutan protein dicampurkan dengan 200 mL reagen warna. Campuran reaksi divorteks kemudian
didiamkan selama 5–10 menit pada suhu ruang. Absorbans larutan diukur pada
panjang gelombang 650 nm. Larutan standar protein yang digunakan adalah larutan
BSA dengan konsentrasi awal 1-10 mg/mL.
3.3 Native-PAGE dan Zimografi
Metode native-PAGE menggunakan
dua jenis gel poliakrilamida untuk memisahkan protein, yaitu gel pemekat (stacking gel) dan gel pemisah (separating
gel). Konsentrasi akrilamida dalam gel pemekat adalah 4% (b/v), sementara
dalam gel pemisah konsentrasinya adalah
12% (b/v).
Untuk membuat gel pemekat 4% (b/v) dan
gel pemisah 12% (b/v), bahan-bahan pada Tabel 1 dicampurkan secara berurutan.
Setiap penambahan bahan, campuran reaksi diaduk agar campuran menjadi homogen.
Tabel 1. Komposisi
gel native-PAGE
|
Gel pemisah
dimasukkan ke dalam plat kaca elektroforesis hingga jarak 1,5 cm dari bagian
atas plat kaca. Agar permukaan gel rata, ddH2O ditambahkan ke dalam
plat yang berisi gel pemisah hingga plat kaca terisi penuh. Gel dibiarkan
selama 30 menit untuk polimerisasi. Setelah polimerisasi selesai, ddH2O
dikeluarkan dari plat kaca. Gel pemekat dimasukkan ke dalam plat hingga
memenuhi plat. Segera setelah itu, sisir dimasukkan ke dalam plat. Gel
dibiarkan kembali selama 30 menit untuk polimerisasi.
Preparasi sampel dilakukan dengan mencampurkan sampel dan bufer sampel
dengan perbandingan 4 sampel : 1 bufer. Bufer sampel merupakan campuran dari 3,1
mL bufer tris-Cl pH 6,8, 5 mL gliserol, 5mg bromfenol biru, dan 1,9 mL ddH2O.
Ekstrak kasar protein cacing diinjeksikan ke dalam dua sumur lalu
dielektroforesis dengan tegangan listrik 150 V selama 90 menit. Bufer pengelusi
(running buffer) yang digunakan terdiri
dari 3,03 gr basa Tris dan 14,4 gr glisin yang dilarutkan dalam 1 L ddH2O.Setelah
selesai, gel dibagi menjadi dua. Bagian pertama yang mengandung BSA dan ekstrak
kasar protein cacing diwarnai menggunakan
coommasie briliant blue G-250.
Zimografi dilakukan dengan merendam sebagian gel native-PAGE yang belum diwarnai dalam larutan pati 1% (b/v) dalam
bufer asetat 25 mM, pH 5 selama 30 menit pada 37ºC. Setelah itu, gel direndam
dalam larutan 0,02% I2/2% KI selama 15 menit [Lo et al., 2002].
3.4 Pengujian Aktivitas Enzim Terhadap Pati Mentah
Pengujian aktivitas enzim terhadap pati mentah dilakukan dengan
mencampurkan larutan enzim dengan suspensi pati mentah 10% (b/v) dalam air
(konsentrasi awal) dengan perbandingan volume 1:1. Campuran diinkubasi pada 37ºC
selama 24–48 jam. Campuran kemudian disentrifuga. Pelet diambil, dikeringkan
dalam oven 60ºC, lalu difoto menggunakan SEM Jeol JSM6063LA.
HASIL DAN PEMBAHASAN PENGUJIAN ENZIM CACING TANAH Perionyx excavatus
1. Pemurnian Enzim
α-amilase dimurnikan dari ekstrak kasar protein cacing tanah melalui dua
tahap yaitu fraksinasi amonium sulfat dan kromatografi filtrasi gel. Protein
dapat larut di dalam air karena ada interaksi antara gugus polar protein dan
air. Pada konsentrasi garam yang rendah, penambahan garam meningkatkan
kelarutan protein karena terbentuk interaksi ionik antara garam dengan molekul
protein. Peristiwa ini disebut salting in.
Peningkatan konsentrasi garam di dalam larutan protein menyebabkan
molekul-molekul air mengikat garam. Kelarutan protein di dalam air menjadi
berkurang karena berkurangnya interaksi antara protein dengan air.
Molekul-molekul protein yang telah kehilangan interaksinya dengan air membentuk
agregat yang kemudian mengendap. Pengendapan protein dengan metode fraksinasi
amonium sulfat ini bersifat reversibel [Scopes, 1982].
Aktivitas spesifik α-amilase dari fraksi-fraksi amonium sulfat diuji. Hasil
pengujian menunjukkan bahwa α-amilase diperoleh paling banyak pada fraksi amonium
sulfat 60% jenuh.
2 Identifikasi Enzim
Pati yang digunakan dalam pengujian adalah tepung beras, sagu, singkong,
dan jagung. Keempat sumber pati ini merupakan hasil utama pertanian di Indonesia. Permukaan pati
yang rusak atau berpori merupakan bukti adanya kerja enzim pada partikel pati
mentah. Tidak semua a-amilase mampu
mendergadasi pati mentah. Sebagai contoh, a-amilase dari
saliva manusia tidak mampu mendegradasi pati mentah. Kemampuan a-amilase dalam mendegradasi pati mentah disebabkan oleh
adanya domain pengikat pati pada molekul enzim. Selama ini, domain pengikat
pati hanya ditemukan pada enzim amilolitik dari mikroorganisme
[Rodriguez-Sanoja et al., 2005]. Oleh
karena itu, a-amilase dari cacing
tanah P. excavatus yang ternyata
memiliki domain pengikat pati merupakan temuan baru yang menarik untuk diteliti
lebih lanjut.
Hasil identifikasi menggunakan foto SEM menunjukkan adanya perbedaan cara
kerja α-amilase pada berbagai jenis pati. Pada pati jagung dan beras, α-amilase
mendegradasi dengan cara melubangi, sedangkan pada pati singkong dan sagu,
degradasi dimulai dari permukaan. Pengetahuan mengenai cara kerja enzim penting
untuk diketahui sebelum mengaplikasikannya pada dunia industri. Pengetahuan ini
berfungsi untuk menentukan jenis substrat yang cocok untuk digunakan, serta
untuk merancang bioreaktor dan cara kultivasi yang tepat. Misalnya, di dalam
suatu industri pemrosesan pati yang menggunakan a-amilase P. excavatus, kultivasi dilakukan dengan
cara pengocokan. Beras dan jagung tidak cocok untuk digunakan sebagai substrat.
Pada beras dan jagung, enzim harus menempel terlebih dahulu kemudian
mendegradasi dengan cara melubangi. Ketika dikocok, enzim yang baru menempel
pada substrat akan terlepas kembali, sehingga enzim tidak dapat mendegradasi
substrat. Dalam sistem kultivasi semacam ini, singkong dan sagu merupakan
substrat yang lebih tepat. Pada singkong dan sagu, enzim langsung bekerja pada
permukaan granula sehingga pengocokan tidak menghambat kerja enzim. Pengocokan
justru memperbesar kemungkinan molekul enzim bertumbukan dengan molekul
substrat sehingga substrat yang terhidrolisis pun semakin banyak.
Refrensi:
Ashikari, T., Nakamura,
N., Tanaka, Y., Kiuchi, N., Shibano, Y., Tanaka, T., Amachi, T., Yoshizumi, H.,
(1986), Rhizopus raw-starch-degrading
glucoamylase: its cloning and expression in yeast, Agric. Biol. Chem., 50, 957-964.
Balkan, B., Ertan, F., (2005), Production and
properties of alpha-amylase from Penicillium
chrysogenum and its application in starch hydrolysis, Prep. Biochem. Biotechnol., 35, 169-178.
Banner, DW., Bloomer,
AC., Petsko, GA., Phillips, DC., Pogson, CI., Wilson, IA., Corran, PH., Furth,
AJ., Milman, JD., Offord, RE., Priddle, JD., Waley, SG., (1975), Structure of
chicken muscle triose phosphate isomerase determined by crystallography at 2.5
Å resolution using amino acid sequence data, Nature, 255, 609-614.
Bhattacharjee, G., Chaudhuri, PS., (2002), Cocoon production, morphology, hatching pattern and fecundity in seven
tropical earthworm species – a laboratory-based investigation, J. Biosci., 27, 283–294.
Boraston, AB., Bolam,
DN., Gilbert, HJ., Davies, GJ., (2004), Carbohydrate-binding modules:
fine-tuning polysaccharides recognition, Biochem.
J., 382, 769-781.
Borgia, PT.,
Campbell, LL., (1978), alpha-amylase from five strains of Bacillus
amyloliquefaciens: evidence for identical primary structures, J Bacteriol., 134, 389–393.
Bradford, M., (1976),
Rapid and sensitive method for the quantitation of microgram quantities of
protein utilizing the principle of protein dye binding, Anal. Biochem., 72,
248–254.
Bulèon, A., Colonna,
P., Planchot, V., Ball, S., (1998), Starch granules: structure and
biosynthesis, Int. J. Biol. Micromol., 23, 85-112.
Chou, WI.,
Pai, TW., Liu, SH., Hsiung, BK., Chang, MD., (2006), The family 21 carbohydrate
binding module of glucoamylase from Rhizopus oryzae consists of two
sites playing distinct roles in ligand binding, Biochem. J., 396,
469–477.
Coutinho, PM., Henrissat, B., (1999), The modular
structure of cellulases and other carbohydrate-active enzymes: an integrated
database approach, Genetics, biochemistry
and ecology of cellulose degradation, pp.15-23,
Ohmiya, K, Hayashi, K, Sakka, K, Kobayashi, Y, Karita, S, Kimura, T (eds.), Uni
Publishers Company, Tokyo.
Crabb, WD., Mitchinson, C., (1997), Enzymes
involved in the processing of starch to sugar, Trends Biotechnol., 15,
349-352.
Crabb, WD., Shetty, JK., (1999), Commodity scale
production of sugars from starches, Curr.
Opin. Microbiol., 2, 252-256.
Declerck, N., Machius, M., Chambert, R., Wiegand,
G., Huber, R., Gaillardin, C., (1997), Hyperthermostable mutants of Bacillus
licheniformis alpha-amylase: thermodynamic studies and structural
interpretation, Protein Eng., 10, 541–549.
Edwards,
CA., Dominguez, J., Neuhauser, EF., (1998), Growth and reproduction of Perionyx
excavatus (Perr.) (Megascolecidae) as factors in organic waste management, Biol. Fertil. Soils, 27, 155–161.
Fuwa, H., (1954), A new method of microdetermination
of amylase activity by the use of amylase as the substrate, J. Biochem., 63, 373–379.
Gates,
GE., (1972), Burmese earthworms. An introduction to the systematics and biology
of megadrile oligochaetes with especial reference to South East Asia, Trans. Am. Philos. Soc., 62, 1-326.
Godfrey, T., West, S., (1996), Industrial
enzymology, 1st ed., The Macmillan Company; New York, 179-191,
210-216, 269-273, 287-288, 397-404.
Henrissat, B., (1991), A classification of
glycosyl hydrolases based on amino acid sequence similarities, Biochem. J., 280, 309-316.
Holm, L., Koivula, AK., Lehtovaara, PM., Hemminki,
A., Knowless, JKC., (1990), Random mutagenesis used to probe the structure and
function of Bacillus stearothermophilus
alpha-amylase, Protein Eng., 3, 181-191.
Jacks, AJ., Sorimachi, K., Le Gal-Coëffet, MF.,
Williamson, G., Archer, DB., Williamson, G., (1995), 1H and 15N
assignment and secondary structure of the starch-binding domain of glucoamylase
from Aspergillus niger, Eur. J. Biochem., 233, 568-578.
Kamitori,
S., Abe, A., Ohtaki, A., Kaji, A., Tonozuka, T., Sakano, Y., (2002), Crystal
structures and structural comparison of Thermoactinomyces vulgaris R-47
α-amylase 1 (TVAI) at 1.6 Å resolution and α-amylase 2 (TVAII) at 2.3 Å
resolution, J. Mol. Biol., 318, 443–453.
Kuriki, T., Imanaka, T., (1999), The concept of
the a-amylase family: structural
similarity and common catalytic mechanism, J.
Biosci. Bioeng., 87, 557-565.
Lawson, CL., van Monfort, R., Strokopytov, B.,
Rozeboom, HJ., Kalk, KH., de Vries, GE., Penninga, D., Dijkhuizen, L.,
Dijkstra, BW., (1994), Nucleotide sequence and X-ray structure of cyclodextrin
glycosyltransferase from Bacillus
circulans strain 251 in a maltose-dependent crystal form, J. Mol. Biol., 236, 590-600.
Lo, HF., Lin, LL., Chiang, WY., Chie, MC., Hsu,
WH., Chang, CT., (2002), Deletion analysis of the C-terminal region of the a-amilase of Bacillus
sp. strain TS-23, Arch Microbiol.,
178, 115-123.
Mantsala, P., Zalkin, H., (1979), Membrane-bound
and soluble extracellular alpha-amylase from Bacillus subtilis, J. Biol.
Chem., 254, 8540–8547.
Mikami,
B., Iwamoto, H., Malle, D., Yoon, HJ., Demirkan-Sarikaya, E., Mezaki, Y.,
Katsuya, Y., (2006), Crystal structure of pullulanase: evidence for parallel
binding of oligosaccharides in the active site, J. Mol. Biol., 359,
690–707.
Mikkelsen,
R., Suszkiewicz, K., Blennow, A., (2006), A novel type carbohydrate-binding
module identified in α-glucan, water dikinases is specific for regulated
plastidial starch metabolism, Biochem.,
45, 4674–4682.
Moerkeberg, R., Carlsen, M., Nielsen, J., (1995), Induction and repression of alpha-amylase
production in batch and continuous cultures of Aspergillus oryzae, Microbiol.,
141, 2449–2454.
Nakamura, A., Haga, K., Yamane, K., (1993), Three
histidine residues in the active center of cyclodextrin gluconotransferase from
alkalophilic Bacillus sp. 1011
effects replacement on pH dependence and transition-state stabilization, Biochemistry, 32, 6624–6631.
Omemu, AM., Akpan, I., Bankole, MO., Teniola, OD., (2005), Hydrolysis of
raw tuber starches by amylase of Aspergillus niger AM07 isolated from
the soil, African J. Biochem., 41,
19–25.
Pandey, A., Nigam, P., Soccol CR., Soccol VY.,
Singh, D., Mohan, R., (2000), Advanced in microbial amylases, Appl. Biochem., 31, 135-152.
Robyt, JF., (1998), Essentials of carbohydrate chemistry, 1st
ed., Springer-Verlag New York, Inc., New York, 160, 245-251.
Rodriguez-Sanoja, R., Oviedo, N., Sanchez, S., (2005),
Microbial starch-binding domain, Curr.
Opin. Microbiol., 8, 260-267.
Scopes, RK., (1982), Protein purification, principles and
practice, 1st ed., Springer-Verlag, New York, 47-52, 151-163.
Sorimachi, K., Le Gal-Coëffet, MF., Williamson, G., Archer,
DB., Williamson, G., (1997), Solution structure of the granular starch binding
domain of Aspergillus niger
glucoamylase bound to b-cyclodextrin,
Structure, 5, 647-661.
Strokopytov, B., Knegtel, RMA., Penninga, D., Rozeboom,
HJ., Kalk, KH., Dijkhuizen, L., Dijkstra, BW., (1996), Structure of
cyclodextrin glycosyltransferase complexed with a maltononaosa inhibitor at 2.6
Å resolution. Implications for product specificities, Biochemistry, 35, 4241-4249.
Svenson,
B., Jespersen, H., Sierks, MR., MacGregor, EA., (1989), Sequence homology
between putative raw-starch binding domains from different starch-degrading
enzymes, Biochem. J., 264, 309-311.
Takahashi,
T., Tsuchida, Y., Irie, M., (1982), Isolation of two inactive fragments of a Rhizopus sp. glucoamylase: relationship
among three forms of the enzymes and the isolated fragments, J. Biochem., 92, 1623-1633.
Takata, T., Kuriki, T., Okada, S., Takesada, Y., Iizuka, M.,
Imanaka, T., (1992), Action of neopullulanase. Neopullulanase catalizes both
hydrolysis and transglycosylation at alpha-(1®4)
and alpha-(1®6) glucosidic linkage, J.
Biol. Chem., 267, 18447-18452.
Uitdehaag,
JCM., Mosi, R., Kalk, KH., van der Veen, B., Dijkhuizen, L., Withers, SG.,
Dijkstra, BW., (1999), X-ray structures along the reaction pathway of
cyclodextrin glycosyltransferase elucidate catalysis in the a-amylase family, Nature Struct. Biol., 6,
432–436.
van der Maarel, MJEC., van der Veen, B.,
Uitdehaag, JCM., Leemhuis, H., Dijkhuizen, L., (2002), Properties and
application of starch-converting enzymes of the a-amylase
family, J. Biotechnol., 94, 137-155.
NB: Artikel ini dikutip dari
karya tulis ilmiah milik Frisda
Leora Christhie “Identifikasi
α-amilase
Pendegradasi Pati Mentah dari Perionyx excavatus“
--fin--
No comments:
Post a Comment