Pages

Sample text

Sample Text

Social Icons

Featured Posts

PENGERTIAN SUBAK (SISTEM IRIGRASI DI BALI)



Written by: EDUPEDIA
HENDRA D. PRASETYO // CITRA C. O. PRASETYO


Subak adalah sistem irigasi yang berbasis petani (farmer-based irrigation system) dan lembaga yang mandiri (self-governed irrigation system),(Sutawan). Dalam artian secara umum subak dapat diartikan masyarakat hukum adat yang bersifat sosio-agraris-religius, yang terdiri atas petani yang menggarap sawah pada suatu areal persawahan yang mendapatkan air dari suatu sumber. Petani di Bali sejak lama telah menghimpun diri dalam suatu wadah organisasi yang dikenal dengan nama subak. Dan subak juga merupakan masyarakat hukum adat yang secara historis telah ada sejak jaman dahulu kala dan terus berkembang sebagai organisasi dalam bidang pengairan air untuk persawahan dari suatu sumber air di dalam suau daerah (Pemda TK. I-PHDP, 1984 ).

Subak dibentuk berdasarkan keinginan yang keras dari para petani untuk memperoleh air irigasi yang cukup dengan pembagian yang adil, serta kesadaran yang tinggi akan kepentingan kelompok terutama dalam hal mengatur air irigasi ke areal sawah yang berada di wilayah subaknya ( Sutawan,1986 ).


Fungsi utama dari subak itu adalah mengatur tentang pembagian pengairan serta dibagikan secara adil dan merata kepada anggotanya. Subak mempunyai otonom penuh sehingga berhak untuk mengatur dirinya sendiri dan menyelesaikan segala perselisihan yang terjadi pada wilayah subak itu.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan subak selain bersifat kedalam juga ada yang bersifat ke luar antara lain, dapat berhubungan dengan pemerintah daerah yang menyangkut hal-hal peningkatan kemajuan subak. Sebaliknya subak dapat pula menjadi perantara antara pemerintah dan petani. Dengan demikian subak merupakan jembatan yang efektif dalam pelaksanaan modernisasi pertanian dari pihak pemerintah kepada petani-petani di desa di Bali.

Menurut Sutawan (1992), peran serta pemerintah sudah ada sejak jaman Bali Kuno (abad ke 8-14). Kemudian dilanjutkan pada jaman Bali Baru ( tahun 1850 sampai sekarang ). Namun demikian, peran serta pemerintah secara langsung baru terlihat sekitar tahun 1920-an yaitu pada waktu Bali berada dibawah pemerintahan Kolonial Belanda. Sejak itu kegiatan untuk pengembangan/peningkatan jaringan irigasi dilaksanakan oleh Proyek Irigasi Bali (PIB), yang dimulai sejak tahun 1978 (Windia, 1986).

Dengan adanya campur tangan pemerintah melalui Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dalam menangani masalah irigasi, maka berdasarkan pengelolaannya dewasa ini subak-subak dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu subak dengan sistem pengairan PU, yakni subak-subak yang memperoleh air irigasi dari bendung permanen yang dibangun oleh pemerintah. Dalam sistem irigasi ini pengelolaan dilaksanakan secara bersama-sama oleh pemerintah dengan subak ( Jointly Managed Irrigation System ), dan subak dengan sistem irigasi non-PU ( subak non-PU ), yakni subak-subak yang fasilitas irigasimya dibangun dan dikelola secara swadaya penuh oleh subak tanpa adanya campur tangan pemerintah ( Single Managed Irrigation System ) ( Sutawan dkk,1983 ).

Intervensi pemerintah terhadap subak ( lewat rehalibitasi jaringan irigasi serta selanjutnya menangani pengelolaannya ) memang telah mampu meningkatkan produksi beras serta meningkatkan pendapatan petani. Namun di pihak lain, intervensi tersebut banyak sekali menimbulkan dampak negatif, seperti : menurunnya rasa memiliki dan adanya ketergantungan subak yang berlebihan terhadap pemerintah, yang berarti beban pemerintah menjadi bertambah.

Sutawan dkk (l986) melakukan kajian lebih lanjut tentang gatra religius dalam sistem irigasi subak. Kajian gatra religius tersebut ditunjukkan dengan adanya satu atau lebih Pura Bedugul (untuk memuja Dewi Sri sebagai manifestasi Tuhan selaku Dewi Kesuburan), disamping adanya sanggah pecatu (bangunan suci) yang ditempatkan sekitar bangunan sadap (intake) pada setiap blok/komplek persawahan milik petani anggota subak.


Gatra religius pada sistem irigasi subak merupakan cerminan konsep THK yang pada hakekatnya terdiri dari parhyangan, palemahan, dan pawongan. Gatra parhyangan oleh Sutawan dkk (l986) ditunjukkan dengan adanya pura pada wilayah subak dan pada setiap komplek/blok pemilikan sawah petani, gatra palemahan ditunjukkan dengan adanya kepemilikan wilayah untuk setiap subak, dan gatra pawongan ditunjukkan dengan adanya organisasi petani yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat, adanya anggota subak, pengurus subak, dan pimpinan subak yang umumnya dipilih dari anggota yang memiliki kemampuan spiritual. Ketiga gatra dalam THK memiliki hubungan timbal-balik dan dapat digambarkan seperti pada Gambar 1.


Sementara itu, kajian-kajian lain yang menelaah sistem irigasi subak secara tidak utuh sebagai sistem sosio-teknis-religius yang sesuai dengan prinsip masyarakat hokum adat yang berlandaskan THK masih tampak dilaksanakan. Misalnya, kajian yang cendrung lebih difokuskan pada masalah organisasi, dan sarana yang dimiliki sistem subak untuk mengelola air irigasi, yang antara lain dilakukan oleh Geertz (1980),Teken (l988),Samudra (l993), dan Sushila (l993). Sudira (l999) mengatakan bahwa sistem irigasi subak yang disebutkan hanya memiliki gatra fisik dan sosial sebetulnya tidaklah salah, namun tidak lengkap. Meskipun demikian, tampaknya dapat disebutkan bahwa kajian tentang sistem irigasi subak yang tidak mengkaji dari gatra sosio-teknis-religius terkesan menyederhanakan masalah, makna kajiannya kurang lengkap, dan tercermin kurangnya pemahaman tentang konsep teknologi serta peluang transformasi sistem irigasi subak sebagai suatu teknologi yang sepadan.

Selanjutnya, Pusposutardjo (l997a) dan Arif (l999) yang meninjau subak sebagai sistem teknologi dari suatu sosio-kultural masyarakat, menyimpulkan bahwa sistem irigasi (termasuk subak) merupakan suatu proses transformasi sistem kultural masyarakat yang pada dasarnya memiliki tiga subsistem yakni: (i) subsistem budaya (pola pikir, norma dan nilai); (ii) subsistem sosial (termasuk ekonomi); dan (iii) subsistem kebendaan (termasuk teknologi). Semua subsistem itu memiliki hubungan timbal-balik, dan juga memiliki hubungan keseimbangan dengan lingkungannya seperti terlihat dalam Gambar 2.


Gambar 2. menunjukkan bahwa dengan menyatunya antar ketiga subsistem dalam sistem irigasi subak, maka secara teoritis konflik antar anggota dalam organisasi subak maupun konflik antar subak yang terkait dalam satu sistem irigasi yang tergabung dalam satu wadah kordinasi akan dapat dihindari. Keterkaitan antar semua subsistem akan memungkinkan munculnya harmoni dan kebersamaan dalam pengelolaan air irigasi dalam sistem irigasi subak yang bersangkutan. Hal itu bisa terjadi karena kemungkinan adanya kebijakan untuk menerima simpangan tertentu sebagai toleransi oleh anggota subak (misalnya, adanya sistem pelampias, dan sistem saling pinjam air irigasi). Di Subak biasanya dilakukan kebijakan sistem pelampias dengan memberikan tambahan air bagi sawah yang ada di hilir pada lokasi-lokasi bangunan-bagi di jaringan tersier. Besarnya pelampias tergantung dari kesepakatan anggota subak (Sutawan, l984).

WUJUD TRI HITA KARANA DALAM SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALI

Sistem irigasi pada dasarnya adalah merupakan sistem yang bersifat sosio-tekni (Huppert dan  Walker, l989; dan Pusposutardjo, l997b). Pernyataan bahwa sistem irigasi adalah bersifat sosio-eknis dipertegas dalam PP 77/2001. Sistem irigasi subak yang berlandaskan THK adalah juga merupakan sistem yang bersifat sosio-teknis, yang teknologinya telah menyatu dengan sosio-kultural masyarakat setempat. Karakter teknologi seperti itu dinyatakan oleh Poespowardojo (l993) sebagai teknologi yang telah berkembang menjadi budaya masyarakat. Adapun wujud THK dalam pengelolaan air irigasi pada sistem irigasi subak dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.


Tabel 2. Wujud Tri Hita Karana (THK) dalam Sistem Irigasi Subak yang Bersifat Sosio-Teknis

Sistem subak yang berlandaskan THK
Wujud pelaksanaan THK.
1.Subsistem budaya.
1.1.Gatra parhyangan.

·         Air dianggap sangat bernilai&dihormati, dan merupakan ciptaan Tuhan YME (Pusposutardjo, 1996; Kutanegara dan Putra, 1999).
·         Adanya pura sebagai tempat pemujaan Tuhan YME, dan dianggap sebagai bagian dari mekanisme kontrol terhadap pengelolaan air irigasi (Pusposutardjo,2000).
·         Secara rutin menyelenggarakan upacara keagamaan (Sutawan dkk,1989).
1.2.Gatra pawongan.
·         Pengelolaan air irigasi dengan konsep harmoni dan kebersamaan.
1.3.Gatra palemahan
·         Disediakan  lahan khusus untuk bangunan suci pada lokasi yang dianggap penting (Sutawan dkk, 1989).
·         Lahan yang tersisa pada lokasi bangunan-bagi dimanfaatkan untuk bangunan suci, sehingga konflik atas lahan itu dapat dihindari (Pusposutardjo,2000).
2.Subsistem sosial

2.1.Gatra parhyangan

·         Ada awig-awig (Sutawan dkk, l989).
·         Pengelolaan air irigasi terakuntabilitas (Arif, 1999).
·         Hak atas air dan lahan dihormati (Mawardi dan Sudira,l999).
·         Ada sistem pelampias dalam pengelolaan air irigasi (Sutawan dkk,l989).
2.2.Gatra pawongan.


·         Adanya organisasi subak yang strukturnya fleksibel.
·         Adanya kegiatan gotong royong dan pembayaran iuran untuk mensukseskan kegiatan subak (Sutawan dkk,l989).
·         Ada rapat subak secara rutin (Sutawan dkk,l989).
2.3. Gatra palemahan
·         Anggota subak tidak keberatan bila lahan yang tersisa pada lokasi bangunan-bagi digunakan untuk bangunan-suci .
3. Subsistem kebendaan
3.1.Gatra parhyangan.





·         Air dialirkan secara kontinyu melalui bangunan-bagi yang tersedia. Air yang dikelola seperti ini dianggap ikut diawasi oleh Tuhan YME, yang diwujudkan dengan adanya bangunan-suci di sekitar lokasi bangunan-bagi tersebut (Pusposutardjo,2000).
·         Ada konsep tektek dalam setiap bangunan-bagi pada subak yang bersangkutan, untuk dapat mendistribusikan air irigasi secara adil dan proporsional (Dinas PU Prov.Bali,l997).
3.2. Gatra pawongan.







·         Adanya saling pinjam air irigasi antar anggota subak dan antar subak (Sutawan dkk,l989).
·         Adanya kerjasama antara pengurus subak dengan anggotanya, sehingga pelaksanaan program subak dapat dilaksanakan dengan nilai-nilai harmoni dan kebersamaan.
·         Adanya kordinasi antara pimpinan subak dengan pimpinan lembaga-lembaga lain di lingkungannya,misalnya pimpinan desa adat, desa dinas, lembaga pemerintahan dan lain-lain, dengan tujuan agar program-program sistem subak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.
3.3. Gatra palemahan.
·         Topografi lahan subak pada dasarnya miring (Pusposutardjo, 2000).
·         Setiap blok/komplek persawahan milik petani memiliki bangunan-sadap dan saluran drainasi (one inlet and one outlet system) (Dinas PU Prov.Bali, l997 dan Susanto, l999).
·         Batas wilayah subak jelas (Sutawan dkk,l989 dan Mawardi&Sudira,l999).
·         Adanya bangunan dan jaringan irigasi yang sesuai dengan kebutuhan petani setempat (Susanto, 1999 dan Arif,l999).
·         Memanfaatkan bahan-bahan lokal untuk pembangunan sarana jaringan irigasi di kawasan subak yang bersangkutan.

WUJUD SUBAK SEBAGAI TEKNOLOGI SEPADAN DALAM PERTANIAN BERIRIGASI

Subak pada hakikatnya merupakan teknologi sepadan karena sifatnya yang sesuai dengan prinsip-prinsip teknologi sepadan seperti yang dikemukakan Mangunwijaya (l985), yakni (i) kegiatannya yang berdasarkan pada usaha swadaya, dan tidak tergantung pada ahli; (ii) bersifat desentralisasi; (iii) kegiatannya berdasarkan pada kerjasama, dan bukan pada persaingan; dan (iv) merupakan teknologi yang sadar pada tanggungjawab sosial dan ekologis. Kemudian, dalam perannya sebagai pengelola pertanian beririgasi, maka seperti yang dikemukakan Meskey dan Weber (l996), serta Pusposutardjo (l997a) ternyata komponen manusia dalam sistem subak sangat dominan dalam sistem pengelolaan irigasi, yakni dalam aktivitasnya untuk mengendalikan pasokan air yang dinamis pada sistem pertanian tersebut. Selanjutnya, bagaimana sesungguhnya peran subak sebagai teknologi sepadan dalam sistem pertanian beririgasi, dapat diamati dalam hubungan dengan konsep
pola pikir, sosial, dan artefak.

Sesuai dengan prinsip-prinsip THK , maka pembangunan dan pemanfaatan artefak pada sistem subak di Bali diarahkan sedemikian rupa agar mampu memunculkan kebersamaan dan harmoni dikalangan anggota subak. Arif (l999) mencatat bahwa sistem irigasi subak pada dasarnya didesain, dan dioperasikan sesuai dengan prinsipprinsip keterbukaan, akuntabilitas, dan selaras dengan lingkungannya.

Sekian postingan tentang SUBAK (SISTEM IRIGASI DI BALI), semoga menambah ilmu, wawasan serta intelektual. Amin...!! Apabila isi postingan sedikit membantu anda mohon tinggalkan komentar dan bantu share, terima kasih…

--FIN--

No comments:

 

Most Reading

EDUPEDIA

Powered by Blogger.